Wednesday, May 21, 2014

Kilas balik reformasi 1998 Jejak berdarah rezim militerisme Orde Baru Hasan Kurniawan

dumay blog r PROFESOR Benedict Anderson, guru besar emeritus pada Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat,


yang dikenal dengan penulis Cornell Paper atau


Makalah Cornell pernah berucap, rezim militerisme


Orde Baru dibangun atas tumpukan mayat orang


komunis di Indonesia, pada 1965-1966. Pada periode awal pembunuhan itu, jumlah korban


tewas mencapai sekira 1 juta orang, dengan perincian


800.000 korban di Jawa, dan 100.000 korban di


Bali dan Sumatera. Namun ada juga yang mengatakan


jumlahnya mencapai 2 juta orang. Merujuk pada jumlah korban, ungkapan itu dirasa tidak


berlebihan. Bahkan, gelombang pembantaian massal


terhadap orang komunis dan yang dikomuniskan masih


terjadi pada periode awal berdirinya Orba, tahun


1967-1968. Peristiwa itu dikenal dengan


pembunuhan massal di Purwodadi. Korban tewas dalam peristiwa ini mencapai sekira 100.000 orang


lebih. Pembunuhan dilakukan oleh Kodim Purwodadi atas


perintah Kodam Diponegoro, dengan sandi Operasi


Kikis I pada periode 4 Juli–Desember 1967, dan


Kikis II pada periode 27 Juni–7 Juli 1968. Dalam dua


gelombang operasi itu, ribuan orang ditangkap dan


disekap dibeberapa kamp penahanan yang tersebar di wilayah kabupaten Grobogan. Pembersihan terhadap kaum komunis di awal


berdirinya Orde Baru, kembali dilanjutkan di Timor


Timur, pada 17 Juli 1976 sampai 19 Oktober 1999.


Provinsi Indonesia ke-27 itu, dibangun atas tumpukan


mayat orang Timor. Pembantaian itu dilakukan dengan sandi Operasi


Seroja, pada 7 Desember 1975. Tujuan operasi itu,


adalah untuk menarik Timor Timur ke pangkuan ibu


pertiwi dari tangan Fretilin yang berpaham komunis


atas desakan Amerika Serikat dan Australia, serta


sejumlah rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan republik. Selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor


Timur, tercatat sekira 200.000 orang meninggal


dunia. Sebanyak 60.000 orang dinyatakan tewas di


tangan Fretilin, menurut laporan resmi PBB. Sisanya


di tangan tentara republik. Peristiwa dramatis terjadi ketika pasukan Indonesia


mendarat di Timor Leste, pada 7 Desember 1975.


Fretilin dengan ribuan rakyat Timor mengungsi ke


daerah pegunungan untuk melawan tentara Indonesia.


Lebih dari 200.000 orang penduduk yang ikut


longmarch dengan Fretilin, tewas terkena serangan bom udara militer Indonesia. Namun ada juga yang


kelaparan dan sakit. Seperti diketahui, pada 20 Mei 2002, Timor Timur


kemudian menjadi negara merdeka. Peristiwa ini


disusul dan ditandai dengan diakuinya secara


internasional negara Republik Demokratik Timor


Leste oleh PBB. Sejak itu, pemerintah Timor Leste


berusaha memutuskan segala hubungan dengan pemerintah Indonesia. Bahkan mereka mengadopsi


Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi. Setelah pembersihan kaum komunis, sasaran


pembantaian mulai bergeser kepada kaum bromocorah


atau Gabungan Anak Liar (Gali) alias preman, pada


periode awal 1980-1985. Operasi pembantaian ini


diberi sandi Operasi Celurit dan Penembak Misterius


(Petrus). Peristiwa ini, pertama kali dilangsungkan di


Yogyakarta, dan menyebar ke kota-kota besar


lainnya. Total korban Petrus, tercatat sekira


10.000 orang. Pada tahun 1983 tercatat ada sekira


532 orang yang tewas akibat Petrus. Pada 1984,


korban tewas menurun menjadi 107 orang, dan pada 1985, menjadi 74 orang. Usai membersihkan Gali, pembunuhan dilanjutkan


dengan memburu para sekutu awal militerisme


Soeharto. Sekutu Orde Baru ini, adalah salah satu


kelompok yang membantu tentara dalam menumpas


dan membersihkan kaum komunis, pada 1965-1966,


dan 1967-1968. Mereka adalah kaum Muslim radikal. Pembunuhan terhadap kaum putih itu, dimulai pada 12


September 1984. Peristiwa ini dikenal dengan


tragedi Tanjung Priok. Ratusan orang jamaah Mushala


as-Sa’adah tewas dibantai oleh tentara. Peristiwa ini


dipicu oleh provokasi dua orang oknum petugas


Koramil yang masuk ke dalam musala tanpa melepas alas sepatu. Pembunuhan terhadap kaum putih berlanjut, di Desa


Way Jepara, Lampung, pada 1989. Ratusan tentara


dari Korem Garuda Hitam 043 Lampung, menyerbu


Desa Way Jepara, saat warga tengah tertidur lelap.


Mereka menembak secara sporadis, dan membakar


rumah warga yang sedang tertidur. Penyerbuan tentara ini, dilakukan menyusul dugaan


adanya kelompok pengajian yang ingin mengganti


Pancasila dengan asas Islam. Serta, tewasnya


Danramil Way Jepara usai mendatangi kompleks


pengajian itu. Ratusan warga meninggal dalam aksi


penyerangan tersebut. Namun pemerintah mengatakan, korban tewas sekira 29 orang. Akhir 1980, sasaran pembantaian banyak diarahkan


kepada kelompok-kelompok yang anggap


berseberangan dengan pemerintah. Seperti yang


terjadi di Aceh misalnya. Sejak diberlakukan Daerah


Operasi Militer (DOM), pada 1989-1998, tercatat


ribuan warga tewas, dan ratusan lainnya hilang diculik. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan


Kekerasan Aceh melaporkan, sebanyak 1.258 orang


tewas dalam operasi itu. Sementara 550 orang


lainnya, dinyatakan hilang dan belum kembali. Diduga,


mereka yang hilang sudah tewas dibunuh. Memasuki tahun 1990-an, sasaran pembunuhan lebih


kepada kelompok kecil yang dianggap berbahaya.


Kelompok ini, banyak terdiri dari kaum intelektual,


aktivis buruh, mahasiswa, dan pemuda. Hal itu terjadi


seiring dengan geliat gerakan massa yang sedang


tumbuh dan membawa ekses negatif terhadap rezim. Tercatat pada 1985, ada sekira 78 pemogokan


buruh, 73 pemogokan pada 1986, 37 pemogokan


pada 1987, 38 pemogokan pada 1988, dan 17


pemogokan pada 1989. Aksi pemogokan meningkat,


pada periode 1990. Tercatat 61 pemogokan terjadi


pada 1990, 100 pemogokan pada 1991, 251 pemogokan pada 1992, 300 pemogokan pada 1993,


dan 1.030 pemogokan pada 1994. Penculikan aktivis buruh dimulai, pada 1993. Seorang


aktivis buruh PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong


Sidoarjo, Jawa Timur, diculik dan dibunuh. Buruh


perempuan itu bernama Marsinah (24). Kematiannya,


telah menimbulkan amarah dan semangat perjuangan


bagi kaum buruh dan aktivis pro demokrasi lainnya. Selain menimpa aktivis buruh, kekerasan hingga


menyebabkan korban tewas juga menimpa Fuad


Muhammad Syafrudin alias Udin, wartawan Harian


Bernas di Yogyakarta. Dia dianiaya di kontrakannya,


pada 13 Agustus 1996, dan menghembuskan nafas


terakhir pada 16 Agustus 1996. Penganiayaan Udin, diduga erat berkaitan dengan tulisan-tulisannya di


media massa. Di tahun yang sama, tentara menyerbu masuk ke


dalam kampus, dan menembak mahasiswa dengan


peluru tajam. Peristiwa itu disebut dengan April


Makassar Berdarah atau dikenal dengan Amarah,


terjadi pada 24 April 1996. Untuk pertama kali,


tentara membawa masuk tiga unit panser ke dalam kampus UMI. Dalam peristiwa itu, tiga aktivis mahasiswa


dinyatakan tewas. Terdiri dari mahasiswa Fakultas


Ekonomi Andi Sultan Iskandar, mahasiswa Fakultas


Teknik Syaiful Bya, dan aktivis mahasiswa UMI Tasrif. Puncak kejadian politik di tahun ini adalah meletusnya


peristiwa 27 Juli 1996 atau biasa disebut Kudatuli.


Peristiwa ini ditandai dengan diserbunya kantor DPP


Partai Demokrasi Indonesia, di Jalan Diponegoro 58,


Jakarta Pusat, yang dikuasai pendukung Megawati


Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi


(Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan), yang


dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.


Penyerangan itu menimbulkan kerusuhan di Jalan


Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa


kendaraan dan gedung dibakar massa. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)


mencatat, lima orang meninggal dunia, 149 orang


(sipil maupun aparat) luka-luka, dan 136 orang


ditahan. Dokumen akhir Komnas HAM menyebut,


Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono


memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dalam kerusuhan itu, pemerintah menuding aktivis


Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai penggerak


kerusuhan. Para aktivis dan simpatisan PRD pun mulai


diburu pasca peristiwa itu. Mereka diculik, dan


dijebloskan ke penjara. Di antara aktivis PRD yang


diduga terlibat dalam peristiwa itu dan mendapat hukuman berat adalah Budiman Sudjatmiko. Usai peristiwa itu, penculikan terhadap aktivis terus


dilakukan. Tercatat sebanyak 13 orang aktivis diculik


oleh militer. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman


Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat,


Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji


Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser. Pasukan Kopassus dari tim mawar dianggap


bertanggung jawab atas peristiwa penculikan ini. Dari


24 orang yang diculik, ada sembilan yang berhasil


bebas. Mereka adalah Aan Rusdiyanto, Andi Arief,


Desmon J Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam,


Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati. Sementara satu orang lagi, Leonardus Nugroho


(Gilang) yang sempat dinyatakan hilang, tiga hari


kemudian ditemukan tewas di Magetan dengan luka


tembak di kepala. Tidak sampai di situ, kasus pembunuhan yang


melibatkan pejabat negara terus berlangsung di


periode sebelum dan sesudah reformasi 1998. Munir,


pegiat HAM diracun saat akan melanjutkan study S2


di Univeritas Utrecht, Belanda. Diduga, dia sengaja


dibunuh karena kasus-kasus pelanggaran HAM yang sedang ditanganinya. (san) sumber (sindonews.com)

santiagoguns.blogspot.com dumay blog

1 comment:

  1. Hello from Italy I'm an italian photographer keen about photobooks. Could you, please, help me to find a book: “KILAS BALIK REFORMASI published by Galeri Foto Jurnalistic Antara, Jakarta, 2008 Please, let me know. I can pay using Paypal o send the money to your bank account All the best Piero
    pierocavagna@gmail.com

    ReplyDelete

Popular Posts